Akting itu Penting | Senyum tak Bertuan (Part 4)


Ada hening panjang, entahlah. Ga seperti biasanya, dulu, setelah ciuman, baik sengaja maupun engga, si Laras tetap sama bawelnya, cerita apapun yang terlintas di pikiran, yang di rasa, bahkan yang ga penting seperti ngomentarin jalanan macet pun, dia lakukan. Kali ini, beda. Aku biarin, takut ngeganggu apa yang dia pikirin. Biasanya kalau dia lagi mikir terus diganggu, bisa - bisa aku diusir dari mobil sendiri.

"Put." Laras memulai percakapan. Suaranya mengecil, seperti menyembunyikan sesuatu.
"Iya, Ras?"
"Engga, ga jadi Put."
"Loh? Ada apa Ras? Bilang aja."
"Engga, beneran deh ga ada apa - apa kok."
"Yakin?"
"Iya."
"Hmmmm"
"Ada apa Put?"
"Engga, kamu bohong ya?"
"Bohong? Engga kok, beneran deh."
"Yaudah deh."
"Ih kok ga ditanyain 'kenapa?' 'Cerita dong' atau apa gitu, jahat deh."
"Lah? Katamu tadi gapapa, gimana sik?"
"Yaaaa masa gitu kamu ga paham? Pantesan Jomblo."
"Eh, sialan. Malah ngelunjak nih anak." Ku cubit pipinya.
"Apa sih cubit - cubit? Sakit tau." Laras mencubit lenganku.

Lalu hening lagi, cuma kali ini berbeda, dia menyenderkan kepalanya di pundakku, dan memegang tanganku, persis seperti yang biasa dilakukan dulu, 3 tahun yang lalu. Aku tidak menolaknya, entah, tidak ada kuasa untuk menolak, rindu? Jelas. Tapi sungkan juga, karena si Laras udah tunangan, jadi ku tanya saja.

"Ras, kamu yakin?"
"Apanya?"
"Ini, kek sekarang ini."
"Kamu ga seneng kek gini?"
"Bukaaaan, bukan gitu. Gimana ya jelasinnya?"
"Ya kalo ga suka bilang aja."
"Suka kok, cuma ga enak aja sama tunanganmu."
"Kan dia ga liat, terus kenapa harus dipikirin?"
"Iya sih... ga jadi deh, Ras."
"Yakin Put?"
"Iya, yakin."
"Beneran?"
"Iya, beneran yakin."
"Aaaaaah ga asik nih Putra, auk deh ngambek."
"Yeee malah ngambek." Aku mengusap pipinya.
"Abis, kamu ga cerita sih, kenapa sih?"
"Kan aku biasanya emang ga pernah cerita secara langsung sih Ras, masa lupa?"
"Yaaa karena sifat jelekmu ini, kamu ditinggalin banyak cewe."
"Eh? Emang iya ya? Ga gitu ah...." Aku berusaha mengelak, ga yakin sama jawabannya Laras.
"Iya, dulu aku ninggalin kamu juga karena ini. Karena kamu jarang cerita."

Ada hening sejenak.

"Eh, gimana maksudmu Ras?"
"No no no, ga ada siaran ulang."
"Hidih pelit."
"Kamu cerita dulu, baru aku ngomong lagi Put."
"Ah ga fair nih mainnya, masa harus gitu?"
"Iya, emang harus gitu, kenapa?"
"Aku ga ngerti ngomongnya gimana Ras."
"Halaaaah, apa susahnya ngomong sih? Kan tinggal bilang aja."
"Iya, cuma gimana ya..."
"Yaudah, kalo kamu ga cerita, keluar dari mobil."
"Eh? Tapi ini kan mobilku?"
"Bodo amat, keluar ya keluar. Titik!"
"Loh Ras...."
"KELUAR GA??!!"
"KOK JADI GINI SIH KAMPRET???!!!!"
"SALAHNYA GA MAU CERITA!!!"
"KOK JADI SALAHKU SIH?"
"BODO AMAT"
"LAAAAAAH?"
"KELUAR!!!! BURUAN!!!"
"OKE OKE AKU BILANG."
"Nah, gitu dong. Mau bilang apa, Put?"
"Ga jadi ndeng."
"KELUAR CEPET!!!!"

Ku peluk Laras, dia diam. tidak merespon, hanya menikmati saja. Ku mulai berbisik.

"Aku, cuma ga mau kita ga bisa kek gini lagi Ras."
"...."
"Udah lama ga ketemu, eh tiba - tiba dapet kabar, kalo kamu bentar lagi mau nikah, itu dari kamunya langsung lagi."
"..."
"Ga tau ya, harus seneng atau sedih. Seneng karena abis gini kamu ada yang jaga, tapi sedih juga, karena abis gini ga bisa ketemu sering - sering."
"...."
"Aku... sayang kamu Ras."
"..."
"Ras?"
"Iya, Put?" dia menundukkan kepalanya, ke dalam pelukan, ga mau kelihatan air matanya jatuh di pelipisnya.
"Respon dong, masa aku ngomong sendiri Ras."
"Respon apa?"
"Ya apa gitu, kok jadi nanya aku."
"Aku ga tau harus respon bagaimana."
"Kamu, udah yakin?"
".... Apanya?"
"Menikah."
"...."
"Ras?"
"Iya?"
"Jawab dong, aku mau dengar jawabanmu."
"Jangan bahas sekarang ya, bisa?"
"..."

Kita berpelukan, di dalam mobil, dengan lagu sendu yang biasa kita nyanyikan dulu, hanya aku dan Laras, berusaha untuk menikmati kondisi saat ini, secara utuh.

17.20
Di depan Rumah Laras

Selama perjalanan, selepas pertengkaran kecil (yang berakhir dengan pelukan), tidak ada kata sedikit pun yang terlontar dari mulut kita berdua, cuma kecupan kecil di pipi masing - masing.

"Put." Laras berusaha mencairkan suasana.
"Iya, Ras?"
"Jadi, anu..."
"Anu?"
"Engga, kamu ga mau masuk dulu? Jalanan juga masih macet, mungkin mau istirahat sebentar. Ku buatkan teh deh."
"Hmmmm, gimana yaaaa?" ucapku, sambil mengelus kepalanya yang selalu bikin rambutnya berantakan.
"Ih Putra deh, aku bukan anak kecil lagi tau!" Laras pasang muka manyun, biasanya kalo kayak gini, dia minta diperhatiin.
"Hahaha, iya iya yang mau nikah, percaya deh."
"Put!!!!"
"What?"
"Udah dibilang jangan dibahas kok ah."
"Kenapa? Kan bener sih. Masa kamu ga bangga sama suamimu?"
"Itu beda case."
"Beda case? Maksudmu?"
"Hug, please?"
"Males ah, kamu selalu ngeles kalo diajak ngomong."
"Peluuuuuuukkkkk"

Laras tiba - tiba memelukku, aku diam sejenak, kemudian ku elus rambutnya lagi, tapi kali ini merapikan yang berantakan tadi, dan ku cium keningnya.

"Udah ya, abis gini bakal ada yang jaga kamu, aku turut senang kok."
"Hmmmm."
"Ada lagi?"
"Kira - kira?"
"Ya kan aku ga tau, kamu kan yang punya pikiran."
"Ga ada sepertinya."
"Yaudah, aku balik dulu ya."
"Iya, ati - ati ya."
"Oh iya, aku ga bisa datang ke nikahanmu, maaf ya."
"Emang diundang?"
"Loh? Emang ga diundang ya Ras?"
"Hmmm gimana yaaa?"
"Loh? Hahaha. Yasudah ga usah diundang deh, aku juga ga ada di Surabaya tanggal segitu."
"Loh? Kamu kemana?"
"Ini, aku ditawarin jalan - jalan ke Rusia. Mau?"
"Emang bisa berdua? Kalo bisa, aku mauuuuu."
"Yeee, kamu ini mau nikah kok, gimana toh? Hahaha."
"Oh iya ya, lupa."
"Bisa - bisanya...."
"Hehehe, kek kamu kan, yang selalu lupa tanggal ulang tahunku."
"..... Oke, aku balik dulu ya Ras."
"Hidih, bisa aja ngelesnya."
"Hehehe."
"Oke hati - hati di jalan ya, Put,"
"Siap."

Ku pacu mobilku perlahan, melewati hujan yang tidak begitu deras, menikmati hujan sendu sambil mengecek gadget, banyak banget notifikasi yang tidak ku baca, salah satunya Jessica, ada 4 misscall dari Jessica. Ini anak kenapa? Batinku. Langsung ku telpon dia, mungkin ada sesuatu yang penting.

"Iya, Jes? Ada apa?"
"Kamu kemana aja??? Kok baru ngabarin sekarang???"
"Jes, santai dong... telingaku masih sehat kok."
"Hehehe, ya maaf."
"Iya, ada apa Jes? Kok misscall banyak kali?"
"Ini jadi ndak?"
"Apanya?"
"Loh, katanya tadi mau keluar?"
"Oh yang itu?"
"Iya, jadi yayayaya???"
"Boleh, mumpung aku juga lagi dekat kawasan rumahmu."
"Oh ya, abis ngapain? Kok ga bilang?"
"Ini tadi, ada urusan sebentar tadi."
"Oh yaudah, aku siap - siap, masih ingat rumahku kan?"
"Kalo tetap, masih inget kok."
"Aku pindah rumah, masih 1 kompleks sih, cuma beda beberapa blok aja."
"Oh ya? Yaudah kirim alamatnnya aja dichat."
"Yeyyyy, siap Bos Putra."
"Oke."
"Ku dandannya cepet kok, santai aja. Hihihi."
"Iya iya, lagian jalanan macet kok, jadi aku ga bakalan nunggu lama, hahaha."
"Hmmmm."
"Apa? Ada lagi yang mau diomongin?"
"Ada sih, tapi ntar aja deh."
"Okeeee."

Rumahnya Jessica dan Laras ini sebenarnya dekat, cuma beda beberapa kompleks perumahan aja, kalo rumahnya Laras itu dekat jalan besar, kalo Jessica lebih ke dalam lagi, katanya ga suka dekat jalan besar, soalnya pasti ramai. Dan rumahnya sekarang gede banget. Nikah sama juragan minyak apa ya? Batinku.

Putra:
  Jes, udah di depan nih?

Jessica:
  Oke oke, wait, tungguin ya, aku turun.

Putra:
  Oke siap.

Jessica keluar pakai celana pendek, dan kemeja putih polos, rambut sebahu bergelombang berwarna cokelat kemerahan, sambil tersenyum manis.

"Belum siap Jes?" Kataku, sambil masuk ke dalam rumahnya, mobil ku tinggal di depan rumah.
"Iya, barusan selesai mandi, nunggu kabarmu lama sih, makanya ga mandi - mandi dari pagi."
"Selalu jorok, yek."
"Masa sih? Udah harum juga kok, masa masih jorok."
"Kata siapa harum?"
"Loh? Engga ya?" Jessica memukul kecil di lenganku, kebiasaan sewaktu masih pacaran dulu.
"Aku sih ga bilang gitu, tapi yaaaa..."
"Tuh kan, masih sering ngejek, ga berubah ih." Pukulannya makin keras, mau ku balas, tapi nanti dikira cowo apaan.
"Yeeee, yaudah sana siap - siap dulu."
"Hmmm yayaya, ku ganti celana dulu ya."
"Eh emang mau kemana ini? Pinjam kamar mandi dong, mau mandi, gerah abis macet - macetan tadi."
"Gitu aja udah cakep kok."
"Yeee, masa keluar sama mama muda ga mandi dulu."
"Hahaha, apaan sih Put, yaudah, kamar mandi ada di belakang."
"Oke, eh btw kamu gendutan ya? Pipimu lebih berisi sekarang."
"Oh ya? Masa sih?"
"Menurutku sih, biasanya pipimu lebih tirus gitu."
"Ya mungkin karena kerjaan di rumah aja jadi makan terus, kek kamu engga aja."
"Yeee, ini mah isinya otot, bukan lemak kek pipimu, jangan disamain dong." Ku cubit pipinya.
"Ih apaan sih cubit - cubit? Mandi sana hus hus, udah bau banget itu."
"Wait, ku ambil baju dulu di mobil." Ku balik ke mobil, ambil baju kotor yang emang biasanya ku sediain di mobil, biar kalau baju kotor atau mau mandi di luar, bisa ganti.

Mandi ga habisin waktu yang lama, ya kira - kira 10 - 15 menitan, ntar kalo kelamaan dikira abis ngapain kan repot. Keluar kamar mandi langsung disambut dengan kue buatan Jessica, dia emang hobi masak kue, meskipun kadang - kadang rasanya kurang meyakinkan. Yah, untungnya sih cantik, coba kalau jelek?

"Nih, Put, Kue yang ku buat kemaren, coba deh."
"Apa nih?" Berusaha memahami kuenya, bentuknya unik, ga seperti kue kering kebanyakan, sedikit ragu buat nyoba.
"Coba aja, enak kok. Ini dari almond, green tea sama beberapa bahan lainnya. Ku jamin kamu pasti suka deh."
"Harus nih coba? Aku ga mau sakit perut ya... Rumah sakit pas momen gini biasanya penuh..."
"Ih, jahat ih, coba aja dulu, beneran enak kok, serius deh." Jessica berusaha meyakinkan.
"Iya iya..." Ku ambil satu, potongan paling kecil, buat jaga - jaga, kalo ga enak tinggal dimuntahin lagi.
"Gimana? Enak kaaaaan? Yayaya?" Dia menunggu responku.
"...."
"Kok diem Put? Ga enak ya?"
"Enak kok, enak..." Berusaha menutupi, sebenarnya rasanya enak, cuma mungkin karena adonannya kurang pas, jadi sedikit enek.
"Yakin enak? Kok mukamu ga meyakinkan gitu?" Dia berusaha memastikan.
"Eh, kita mau pergi kemana nih? Kalo makin malem, ntar makin rame." Ku mengalihkan pembicaraan.
"Oh yaya, main di deket - deket sini aja, ke PTC aja yuk."
"PTC?"
"Iya, itu loh yang deketnya Lenmarc."
"Oh situ, kamu yakin kesitu? Ga macet emang?"
"Macet sih, ya namanya juga tahun baru, mana ada yang ga macet?"
"Oh iya ya, yaudah berangkat sekarang aja yuk."
"Yuk! Eh ga mau nambah lagi nih kuenya?" Jessica menawarkan lagi.
"..." Aku kabur, daripada harus menjawab pertanyaan yang ga ada jawaban benar-salah itu.

*bersambung*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penghamba Diet.

Pelacur Metropolitan